BERMAIN mengawali Generasi Emas Indonesia yang Sehat, Cerdas dan Berkarakter
Lima belas tahun yang lalu, ketika Ibu Alice Arianto mengetahui dan mempelajari ilmu yang baru, mengenai bermain dengan anak melalui “Play therapy” atau terapi bermain. Beliau mulai berani bermimpi untuk anak-anak di Indonesia agar bisa mengalami pertumbuhan yang sehat dan optimal melalui bermain. Beliau bertemu dengan Monika Jephcott dan Jeff Thomas dari Play Therapy United Kingdom (PTUK) dan Academy of Play and Child Psychotherapy (APAC) yang adalah founder dan CEO APAC, PTUK, dan PTI. Beliau menyampaikan keinginan agar bisa membawa “Play therapy” untuk membantu anak dan remaja di Indonesia, yang juga merupakan visi beliau untuk bisa membantu anak-anak di belahan manapun di dunia ini. Itulah awal dari perjalanan ini.
PLAY THERAPY ASIA CONFERENCE 2024
Tema: “Deeply Connected Through Play” 25-27 Oktober 2024 Swiss-BelResort, Pecatu, Bali, Indonesia
Dampak Kekerasan di Sekolah, Anak Jadi Korban
Setiap anak yang mengalami kekerasan di sekolah mengakibatkan dampak yang serius secara fisik dan psikis. Anak bisa terluka, tidak mau sekolah, menurun performa akademiknya, mengalami kecemasan, depresi, bahkan pikiran dan tindakan bunuh diri. Kesehatan mental anak mengalami masalah yang serius.
Pengalaman Kai Oliver dalam Play Therapy: Menemukan Kebahagiaan dan Ketenteraman
"Pengalaman saya mengikuti Play Therapy sangat menyenangkan, karena saya diizinkan untuk melakukan hal-hal yang saya inginkan di dalam ruangan. Sebelum mengikuti Play Therapy, saya tidak bisa mengekspresikan diri saya, terutama ketika saya marah. Saya tidak bisa mengatakan apa yang saya rasakan kepada orang tua saya. Terkadang saya hanya mengurung diri di kamar. Tapi setelah menjalani terapi, saya merasa lebih baik dan lebih bahagia. Oh ya, saya juga ingat, sebelumnya saya tidak bisa fokus dalam waktu yang lama, sekarang saya bisa. Menurut saya, Play Therapy itu penting untuk anak-anak karena dapat membantu mereka lebih tenang, lebih percaya diri, fokus, dan menjadi diri mereka sendiri."
Menumbuhkan Resiliensi Pada Anak Yang Mengalami Trauma
Trauma bagi anak merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan bisa mengakibatkan kesedihan. Anak merasa kehilangan rasa aman, kestabilan, dan rasa positif akan masa depan. Dalam kondisi trauma anak perlu membangun kembali kepercayaan, harapan dan menemukan makna baru dari kehidupan yang mereka jalani.
Membangun Resiliensi Anak Dalam Menghadapi Segala Tantangan Kehidupan
Dalam hidup ini siapa yang kebal terhadap kesulitan? Siapa yang tidak akan mengalami masalah? Hidup sepertinya dikelilingi oleh kesulitan dan masalah. Demikian juga seorang anak. Untuk bisa terus menjalani hidup, anak perlu resiliensi. Seorang anak yang punya resiliensi mempunyai kekuatan yang lebih baik untuk menghadapi kesulitan dan masalah. Resiliensi seperti tanaman yang tetap dapat bertumbuh walaupun di tempat yang kering dan berbatu
Play Therapy Indonesia Conference 2023
"Building Resilience Through Play” Ketangguhan mental atau resiliensi merupakan karakter yang harus ditumbuhkan di dalam diri individu agar dapat menghadapi situasi tekanan dalam bentuk apapun. Bagi anak dan remaja, resiliensi harus terus dibangun, agar kelak menjadi pribadi yang tangguh.
Darurat Kesehatan Mental, Kasus Bunuh Diri Terus Meningkat
Sungguh miris bila kita mendengar meningkatnya kasus bunuh diri yang terjadi di negara kita. Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI drg R Vensya Sitohang M Epid menyebut catatan kasus bunuh diri di tahun kemarin, 2022, menyentuh 826 orang. Angka ini meningkat 6,37 persen dibandingkan 2018 yakni 772 kasus mengutip data dari artikel detik.com. Kita tidak bisa diam saja melihat kenyataan ini. Kita perlu menunjukkan kepedulian kita terhadap Kesehatan emosi mental anak sejak dini.
Kenali karakteristik disleksia!
Permasalahan disleksia ada pada kesulitan dalam mengeja atau mengelompokkan huruf per huruf membentuk kata sehingga mengalami ketidaklancaran dalam membaca (problems with accurate or fluent word recognition, poor decoding and poor spelling abilities).