Gedung e-Building Jl. Suryopranoto No.2 Ruko Harmoni Plaza Blok I No.1-4 Jakarta Pusat
  • 021 - 632 3399
  • info@cae-indonesia.com
  • Masuk

Artikel

Dampak Kekerasan di Sekolah, Anak Jadi Korban

image


Setiap anak yang mengalami kekerasan di sekolah mengakibatkan dampak yang serius secara fisik dan psikis. Anak bisa terluka, tidak mau sekolah, menurun performa akademiknya, mengalami kecemasan, depresi, bahkan pikiran dan tindakan bunuh diri. Kesehatan mental anak mengalami masalah yang serius.

Anak rentan mengalami kekerasan seksual, fisik dan verbal di sekolah. Menurut survey yang dilakukan Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI) tercatat terjadi lonjakan kekerasan di sekolah di bulan September 2024. Dari pemberitaan di media massa terpantau terjadi lonjakan sebanyak 12 kasus kekerasan di sekolah. Yang terbanyak kekerasan seksual sebanyak 6 kasus, kemudian kekerasan fisik 5 kasus, dan kekerasan psikis 1 kasus. Setiap anak yang mengalami kekerasan di sekolah mengakibatkan dampak yang serius secara fisik dan psikis. Anak bisa terluka, tidak mau sekolah, menurun performa akademiknya, mengalami kecemasan, depresi, bahkan pikiran dan tindakan bunuh diri. Kesehatan mental anak mengalami masalah yang serius. Anak-anak yang mengalami kekerasan memiliki kecenderungan: 1. Melakukan kekerasan kepada anak lain 2. Menjadi lebih tertekan oleh kekerasan 3. Manjadi sasaran kekerasan Dampak kekerasan di sekolah dapat memicu trauma pada anak. Trauma pada anak merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan bisa mengakibatkan kesedihan jangka panjang. Anak merasa kehilangan rasa aman, kestabilan, dan rasa positif akan masa depan. Saat mengalami trauma, anak perlu membangun kembali kepercayaan, harapan dan menemukan makna baru dari kehidupan yang mereka jalani. Dalam proses membantu anak yang mengalami trauma diperlukan empati, identifikasi trauma dan membangun hubungan yang sehat. Selain itu anak perlu memahami kekuatan dan kemampuan dirinya dalam mengatasi kekerasan yang dialami. Anak perlu percaya diri pada kemampuan mereka sendiri dan menjadi resilien (tangguh). Melalui metode terapi bermain dengan pendekatan non direktif, terapis bermain membantu proses anak mengekspresikan kesedihan dan rasa sakit yang dirasakan karena trauma. Anak didengarkan, diperhatikan dan dimengerti. Anak diberikan kebebasan untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan dengan media seni kreatif yang menstimulasi imajinasi anak. Saat dilakukan terapi bermain anak tidak sendirian dan merasa ditemani dalam perjalanan mereka menemukan makna kehidupan yang baru. Ketika anak mendapatkan dukungan dari terapis bermain terjadi kesembuhan, pemulihan dari trauma dan resiliensi anak terbangun. (Sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/09/30/kekerasan-di-sekolah-melonjak-ratusan-anak-jadi-korban?open_from=Section_Terbaru%3Fstatus%3Dsukses_login&status_login=login&loc=hard_paywall)